TERCATAT dalam empat bulan terakhir, ada tiga tokoh asing berkomentar mengenai kehidupan umat Islam di Indonesia. Entah ketiga tokoh ini sudah melakukan kesepakatan sebelumnya atau tidak, namun pernyataan mereka persis serupa. November tahun silam, Putera Mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran Charles mengaku tertarik dengan Islam di Indonesia yang dinilainya moderat dan modern. Bahkan sang pangeran yang terkenal karena skandal cinta ini berharap Islam yang moderat ini bisa disebarluaskan ke seluruh dunia. Memasuki medio Februari, giliran menteri Luar Negeri As yang baru terpilih, Hillary Clinton memuji negeri yang pernah mereka berikan embargo militer dengan sebutan militan demokrasi dan negeri Islam moderat. Terakhir, Minggu (8/3), Menteri Luar Negeri Italia, Franco Frattini, menyatakan bahwa Indonesia merupakan model yang mewakili tradisi Islam moderat, pendapat yang kemudian diamini beberapa tokoh kegamaan dalam konferensi bertema, Unity in Diversity: The Culture of Coexistence in Indonesia, di Roma, Italia.
Istilah "Islam moderat" akhir-akhir ini memang tengah populer. Seolah latah, beberapa tokoh negeri ini pun turut mempromosikannya. Seiring dengan itu digunakan pula beberapa istilah lain, seperti "Islam radikal", "Islam puritan", "Islam militan" atau "Islam fundamentalis". Namun menariknya, menurut Adian Husiani, staf peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (Insists) Jakarta, seolah menjadi keniscayaan dalam pembentukan opini di media massa, bahwa corak keislaman yang `pas dan baik" adalah Islam atau muslim yang moderat. Di luar "moderat" ada pemaksaan istilah yang berujung pada pengklasifikasian umat Islam. Adian yang juga dosen luar biasa "Islamic Worldview " Pascasarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI Depok ini berbicara pada kuliah Sabtu Dhuha di masjid Salman ITB, Sabtu (14/2). Adian mengutip pendapat salah seorang tokoh pendiri International Institute of Islamic Thought dan Civilation (ISTAC) Malaysia Prof. Syed Naquib al-Attas. Al-Attas mensinyalir istilah atau label yang diberikan barat pada Islam umumnya berujung pada pola deislamization of language atau deislamisasi bahasa. Dalam proses ini, sejumlah istilah- istilah kunci dalam kamus dasar Islam, diubah maknanya dan digantikan dengan istilah-istilah yang memiliki makna asing dalam pemahaman Islam. Umat Islam di seluruh dunia, menurut al-Attas, memiliki istilah-istilah standar yang sama, yang disebutnya sebagai Islamic basic vocabularies, seperti "Islam", "iman", "kafir","salat", "takwa", "salih", "haji", "shaum", dan banyak lainnya. Jika kita pergi ke Kutub Utara dan bertemu seorang Muslim, kita memiliki makna yang sama tentang kata-kata dasar Islam tersebut. Jika makna istilah-istilah itu dirusak, maka akan terjadi kekacauan bahasa, kekacauan makna, dan kerancuan pemikiran yang ujung-ujungnya berdampak pada kekacauan keyakinan. (Prof. Syed Naquib al-Attas ,The Concept of Education in Islam).
Menurut Adian, sejatinya hakikat dari suatu "perang pemikiran" (ghazwul fikr) seperti yang dikatakan Rasulullaah SAW atau "perang kebudayaan" (ghazwul tsaqafi) adalah "perang istilah" dan "perang makna". Walau sebagai satu sistem ajaran dan nilai, sepanjang sejarahnya, Islam tidak menafikan kemungkinan mengambil istilah-istilah asing untuk diadopsi menjadi istilah baru dalam khazanah Islam. Tetapi menurutnya, istilah baru itu harus benar-benar diberi makna baru, yang sesuai dengan Islam. Istilah itu tidak dibiarkan liar, seperti maknanya yang asli dalam agama atau peradaban lain.
Fakta
Bukan tanpa sebab umat Islam di khususnya di Indonesia harus waspada terhadap konspirasi perusakan istilah dan pemahaman yang gencar dikampanyekan media dan LSM yang didanai asing ini. David E. Kaplan, redaktur investigasi US NEWS menulis hasil penyelidikan mendalamnya di artikel, Hearts, Minds, and Dollars, (usnews.com, 2005). Hasil temuannya menyatakan, bahwa AS menggelontorkan dana puluhan juta dolar dalam rangka kampanye untuk bukan hanya mengubah masyarakat Muslim, tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam.
"Sekurangnya di 24 negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan `Islam Moderat`," tulisnya di laporan investigatif tersebut. Nah, masih ada yang mau ikut-ikutan latah?***
Minggu, 05 Juli 2009
Langganan:
Postingan (Atom)